asiiik-kabanjahe@yayasanmpg.or.id

Kamis, 04 Januari 2024

Pendidikan Politik Dari Caleg DPR RI PSI 15 No urut 8 FREDY SISWANTO GURUSINGA

 

Prakata: Apai kam kalak karo, sentabi gelah banci info kendu man kade2nta si tading i Tangerang Raya memilih ras mencoblos Caleg DPR RI kalak karo silet Gelarna si arah das enda. (Admin)

KENALI LIMA WARNA KERTAS SUARA DALAM PEMILU 2019
Jakarta, Kominfo – Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kapuspen Kemendagri) Bahtiar mengungkapkan bahwa nanti pada hari H Pemilu di tanggal 17 April 2019 mendatang, di tempat pemungutan suara (TPS) akan ada 5 warna kertas suara yang disediakan untuk calon pemilih. Mudah membedakannya karena lima kertas suara ini memiliki warna yang tidak sama.

Warna kuning untuk DPR RImerah untuk DPD RIbiru untuk DPRD Provinsihijau untuk DPRD Kabupaten/Kota, dan warna abu-abu untuk Presiden dan Wakil Presiden. Pemilihan warna ini berdasarkan Keputusan KPU Republik Indonesia nomor 1944/PL.02-Kpt/01/KPU/XII/2018, tentang desain surat suara dan desain alat bantu coblos (template) bagi pemilih tunanetra pada Pemilu Tahun 2019” ungkap Bahtiar di Jakarta, Sabtu (12/1/2019).

Lebih lanjut Bahtiar juga menerangkan secara rinci dari perbedaan warna dan disain surat suara pada Pemilu 2019, sebagai bagian dari sosialisasi dan pendidikan Politik kepada masyarakat pemilih.

Pertama, warna Abu-Abu untuk Surat suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terdiri atas surat suara Pasangan Calon untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dengan ukuran 22 x 31 cm jenis kertas yang digunakan HVS 80 gram Surat suara Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden berbentuk lembaran empat persegi panjang yang terdiri atas 2 (dua) bagian yaitu bagian luar dan bagian dalam.

Kedua, warna Kuning surat suara Pemilu untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), sesuai dengan jumlah Daerah Pemilihan Anggota DPR, dengan ukuran 51 x 82 cm jenis kertas yang digunakan HVS 80 gram Surat suara Pemilu Anggota DPR berbentuk lembaran empat persegi panjang yang terdiri atas 2 (dua) bagian yaitu bagian luar dan bagian dalam dan tidak terdapat photo dari calon anggota DPR RI.

Ketiga, warna Merah surat suara Pemilu untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) terdiri atas Surat Suara untuk Pemilu Anggota DPD, Terdapat 9 (sembilan) kategori ukuran, dengan jenis kertas hvs 80 gram Surat suara Pemilu Anggota DPD berbentuk lembaran empat persegi panjang, vertikal/horizontal terdiri dari 2 (dua) bagian yang disebut bagian luar dan bagian dalam dan terdapat photo dari setiap calon anggota DPD RI.

Keempat, warna Biru surat suara Pemilu untuk untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD Provinsi) sesuai dengan jumlah Daerah Pemilihan Anggota DPRD Provinsi, dengan ukuran 51 x 82 cm jenis kertas yang digunakan hvs 80 gram, berbentuk lembaran empat persegi panjang, vertikal terdiri dari 2 (dua) bagian yang disebut bagian luar dan bagian dalam dan tidak terdapat photo dari calon anggota DPRD Provinsi.

Kelima, warna Hijau surat suara Pemilu untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (DPRD Kabupaten/Kota) sesuai dengan jumlah Daerah Pemilihan Anggota DPRD Kabupaten/Kota, dengan ukuran 51 x 82 cm jenis kertas hvs 80 gram, Surat suara Pemilu Anggota DPRD Kabupaten/Kota berbentuk lembaran empat persegi panjang, vertikal terdiri dari 2 (dua) bagian yang disebut bagian luar dan bagian dalam dan tidak terdapat photo dari calon anggota DPRD Kabupaten/Kota. (demikian dikutip oleh https://158fredy.iniok.com/2023/11/pendidikan-politik-dari-caleg-dpr-ri_29.html )

Dalam hal ini, Bahtiar menegaskan dari pengenalan warna surat suara tersebut menjadi penting, tujuannya akan memudahkan dan memberi pemahaman kepada masyarakat pemilih dalam menyalurkan aspirasi politik pada saat pencoblosan di TPS. “ Hal tersebut penting sebagai bagian dari bentuk pendidikan pemilih kepada masyarakat”, tutup Bahtiar.
Sumber : https://www.kominfo.go.id/

Video 1-Konser Lilin Putih Natal Dan Tahun Baru Bersama Ganjar

Jumat, 26 Maret 2021

[Novita Br Barus] Lagu Karo Ula Kam Sangsi Dengan Penari Yang Sangat Menarik


 *Lagu Karo Ula Kam Sangsi* 
Dengan Penari Yang Sangat Menarik 

Rabu, 24 Maret 2021

JOKOWI Presidenku Ditarikan Dan Dinyanyikan Oleh Suster-suster SFD, Hidup....Suster.


*JOKOWI Presidenku* 
Ditarikan Dan Dinyanyikan 
*Oleh Suster-suster  SFD,Hidup Jokowi....Hidup Suster.*

Selasa, 05 Januari 2021

LAGU KARO BETADIN TAMBAR LUKA NETTY VERA BANGUN CIPTAAN AMIRRUDIN SURBAKTI

LAGU KARO BETADIN TAMBAR LUKA NETTY VERA BANGUN CIPTAAN AMIRRUDIN SURBAKTI

Minggu, 03 Januari 2021

Arti dan Asal Mula Kata Batak


Arti dan Asal Mula Kata Batak
🌏 Ada yang belum sepaham apa itu Batak. Ada banyak versi pemahaman.  Ada yang salah paham.  Ada yang  tak paham Batak.  🌟

Apa sebenarnya arti kata Batak? Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi online mencatat dua makna kata Batak. Pertama, Batak adalah suku bangsa di daerah Sumatera Utara. Kedua, Batak adalah petualang, pengembara. Yang agak negatif, lema pembatak diberi arti perampok dan penyamun. Bagaimana sesungguhnya asal-usul Batak hingga menjadi nama suku?

Tahun 2010 lalu, sebuah hasil penelitian kontroversial datang dari Sejarahwan Universitas Negeri Medan Phill Ichwan Azhari. Hasil penelitian itu dilakukan di Jerman terkait etimologi (asal-usul kata) dan genealogi (asal-usul garis turunan) Batak. Kesimpulannya: nama suku Batak bukan berasal dari Batak, tapi dikonstruksi musafir barat dan dikukuhkan misionaris Jerman yang datang ke tanah Batak sejak tahun 1860-an. Benarkah?

Ilmuwan Batak yang juga Guru Besar Departemen Sejarah Unimed Prof Bungaran A Simanjuntak sedikit ‘gerah’ dengan publikasi Ichwan itu. Menurut Bungaran, tak perlu terlalu meyakini arsip-arsip di Jerman. “Belum tentu arsip-arsip di sana merupakan arsip yang valid, perlu dikonfirmasi ulang. Saya rasa kita tidak perlu terlalu menghebat-hebatkan arsip yang ada di sana,” katanya.

Bungaran menegaskan, asal-usul nama etnik Batak merupakan hasil dari budaya maupun sejarah di Sumut. “Batak merupakan satu kata dari bahasa Batak sendiri yang artinya penunggang kuda. Dari sisi inilah nama Batak ini muncul. Nama ini sudah sejak lama ada,” katanya.

Menurutnya, etnis Batak merupakan ras Mongolia Mansuria. “Awalnya kurang lebih 5000 tahun lalu, tentara Mongol berperang dengan bangsa Tar-tar, terpojok dan kemudian lari menuju Indonesia Bagian Timur melalui China. Para tentara Mongol ini pada saat itu mengendarai kuda, dan masyarakat di daerah Indonesia Bagian Timur (saat itu belum beretnis Batak) menamai tentara Mongol ini dengan 'Batak'. Itulah awal nama etnik Batak,” tutur Bungaran.

Bukan Hal Baru
Bagi sebagian orang, hasil penelitian Ichwan itu mungkin mengejutkan. Tapi bagi sebagian lain, ini polemik yang sudah ‘basi’, sebab sudah sejak awal abad ke-20 pengertian dan asal kata Batak dipolemikkan. Sebutan atau perkataan Batak sebagai nama satu etnis di Indonesia, misalnya, sudah dibicarakan dalam beberapa penerbitan surat kabar pada tahun 1900-an. Sejumlah penulis ketika itu sudah berdebat, apa sesungguhnya pengertian kata (nama) Batak dan dari mana asal muasal kata itu?

Di suratkabar Pewarta Deli Nomor 82 tahun 1919, misalnya, polemik terjadi antara seorang penulis yang memakai nama samaran “Batak na so Tarporso” dengan J Simanjutak. Polemik yang sama terjadi di surat kabar keliling mingguan yang diterbitkan HKBP pada edisi tahun 1919 dan 1920.

Seorang penulis memakai inisial “JS” dalam tulisan pendeknya di suratkabar Immanuel Edisi 17 Agustus 1919, akhirnya tampil sebagai penengah di antara silang pendapat yang ada. JS mengutip buku berjudul Riwayat Poelaoe Soematra karangan Dja Endar Moeda yang terbit tahun 1903, ada halaman 64 menulis: 

Adapoen bangsa yang mendoedoeki residentie Tapanoeli itoe, ialah bangsa Batak namanya. Adapoen kata “Batak” itoe pengertiannya : oerang pandai berkuda. Masih ada kata Batak yang terpakai, jaitoe “mamatak”, yang artinya menaiki koeda. Kemoedian hari orang perboeatlah kata itoe djadi kata pemaki (plesetan) kepada bangsa itoe…"

Berdasarkan sejumlah referensi, umumnya kata Batak menyiratkan defenisi tentang keberanian atau keperkasaan. Menurut Ambrosius Hutabarat dalam catatannya di suratkabar Bintang Batak tahun 1938, pengertian Batak adalah orang yang mahir menaiki kuda, memberi gambaran pula bahwa suku itu dikenal sebagai suku yang berjiwa keras, berani, perkasa. Kuda merupakan perlambang kejantanan, keberanian di medan perang, atau kegagahan menghadapi bahaya/rintangan.

Bahkan, salah seorang pemikir Batak ketika itu, Drs. DJ. Gultom Raja Marpodang menulis teori bahwa suku Batak adalah si-Batak Hoda yang artinya suku pemacu kuda. Asal-usul suku Batak berdasarkan teori adalah pendatang dari Hindia Belanda (sekitar Asia Tenggara sekarang), masuk ke pulau Sumatera pada masa perpindahan bangsa-bangsa di Asia.
 
Drs DJ Gultom bahkan bersusah payah melakukan serangkaian penyelidikan intensif seputar arti kata Batak dengan membaca sejarah, legenda, mitologi, termasuk wawancara dengan orang-orang tua, budayawan dan tokoh adat. Beberapa perkataan “batak” antara lain ditemukan dalam hampir seluruh bahasa sub etnis Batak mulai Pak-pak, Karo, Simalungun, Mandailing dan Toba, yang pada umumnya bermakna heroik, tidak negatif. 

Berbagai penjelasan itu disampaikan untuk meluruskan anggapan seolah-olah ‘Batak’ adalah suatu aliran/kepercayaan tentang suatu agama yang dikembangkan pihak tertentu mendiskreditkan citra orang Batak ketika itu.

Dalam pemeriksaan Ichwan terhadap arsip-arsip di Jerman, penelusuran data di KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal, Land- en Volkenkunde atau The Royal Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies) di Belanda, sama sekali tidak ada penjelasan tentang defenisi Batak sebagai penunggang kuda, yang kemudian diplesetkan sehingga menjadi sangat peyoratif terhadap identitas kebatakan.

Pada sumber-sumber manuskrip Melayu klasik, memang ditemukan kata Batak di kalangan orang Melayu di Malaysia, tetapi sebagai label untuk penduduk yang tinggal di rimba pedalaman semenanjung Malaka. Tidak hanya di Malaysia, di Filipina juga penduduk pesisir menyebut penduduk pedalaman dengan streotip atau label negatif sebagai Batak. 

Tak mengherankan peneliti Batak asal Belanda bernama Van der Tuuk, pernah risau dan mengingatkan para misionaris Jerman agar tidak menggunakan Batak untuk nama etnik karena imej negatif pada kata itu.

“Di Malaysia dan Filipina penduduk yang diberi label Batak tidak mau menggunakan label merendahkan itu menjadi nama etnik mereka. Di Sumatera Utara label itu terus dipakai karena peran misionaris Jerman dan pemerintah kolonial Belanda yang memberi konstruksi dan makna baru atas kata itu,” katanya.

Dalam peta-peta kuno itu, baik peta bata lander yang dibuat peneliti Jerman Friedrich Franz Wilhelm Junghuhn, maupun peta-peta lain sebelum dan setelah peta Junghuhn dibuat. kata bata lander hanya digunakan sebagai judul peta tapi di dalamnya hanya nampak lebih besar dari judulnya nama-nama seperti Toba, Silindung, Rajah, Pac Pac, Karo, dan tidak ada nama batak sama sekali. Dalam salah satu peta kata Batak di dalam peta digunakan sebagai pembatas kawasan Aceh dengan Minangkabau.

Bermula dari Daniel Perret
Menurut salah seorang pengamat Kebatakan, Thompson Hs, penelitian Ichwan Azhari itu terkait dengan isu tentang Batak yang dilontarkan Daniel Perret dalam bukunya berjudul Kolonialisme dan Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut. Buku tersebut sudah diseminarkan oleh PUSSIS pimpinan Ichwan Azhari sendiri.

Dalam buku Daniel Perret, semua istilah Batak dicatat dalam tanda petik dan identifikasi “batak” dalam setting kolonial waktu itu merupakan bagian dari dikotomi antara melayu yang dianggap beradab melalui kesultanan dan keislamannya dan posisi orang-orang “batak” yang belum menganut Islam yang dianggap stereotip dari orang-orang yang tidak beradab. 

“Peta dikotomi ini saya kira yang ingin diungkapkan kembali oleh Ichwan Azhari tanpa mengungkap posisi Melayu di Sumatera Utara. Kita tunggu saja sambungan penelitiannya,” ujar Thompson.

Menurut Thompson, hasil penelitian Ichwan itu juga terkait dengan kepentingan isu Batak yang diperdebatkan lagi oleh sebagian orang Karo belakangan ini. Dalam sebuah diskusi di Padangbulan baru-baru ini, identitas Karo dalam kaitannya dengan Batak, kembali digugat. Gugatan muncul dari seorang antroplog Karo, Juara Ginting. Juara mempertanyakan kembali latarbelakang kata Batak disematkan pada suku Karo. 

Menurut Juara, tak ada kaitan antara Batak dengan Karo. Juara tak setuju jika Karo dianggap Batak, sebab Karo punya standar adat-istiadat yang mandiri. Kalaupun ada kemiripan tidak bisa langsung diklaim, harus dilihat dari banyak sisi.

“Tentu saja orang Karo tidak harus menjadi Batak. Itulah mungkin dasar lain di samping argumen Juara Rimanta Ginting yang mengambil catatan-catatan lama secara umum. Lalu orang Toba sendiri juga bisa juga menganggap dirinya bukan orang Batak. Mamun masalahnya bukan di situ,” kata Thompson.

Masyarakat Mandailing juga menolak disebut Batak. Sebab Mandailing sudah diketahui sejak abad ke-14, menunjukkan adanya satu bangsa dan wilayah bernama Mandailing. Nama Mandailing tercatat dalam kitab Nagarakretagama yang mencatat perluasan wilayah Majapahit sekitar 1365 M.

Tapi ‘Batak’ sama sekali tidak disebut dalam kitab tersebut. Nama Batak itu sendiri tidak diketahui asal-usulnya. Ada yang berpendapat istilah Batak itu digunakan oleh orang pesisir seperti orang Melayu untuk memanggil orang di pedalaman Sumatra, Batak, sepertimana orang Melayu memanggil ‘orang asli’, Sakai dan Jakun.

Ketika Belanda menguasai kesultanan-kesultanan Melayu, mereka bukan saja memasukkan kesultanan-kesultanan tersebut ke dalam sistem kolonial, tapi juga mengambil-alih pemisahan Batak-Melayu. Belandalah yang kemudian membatakkan bangsa/umat Mandailing dalam persepsi, tanggapan, tulisan-tulisan, dan sensus administratif Belanda.

Kembali ke hasil penelitian Ichwan. Menurutnya, konsep Batak dari misionaris Jerman semula digunakan kelompok masyarakat di kawasan Tapanuli Utara, tapi lebih lanjut dipakai Belanda menguatkan cengekraman ideologi kolonial.

Perlahan-lahan konsep Batak itu meluas dipakai Belanda termasuk sebagai pernyataan identitas oleh penduduk di luar daerah Toba. Peneliti Belanda kemudian merumuskan konsep sub suku batak dalam antropologi kolonial yang membagi etnik Batak dalam beberapa sub suku seperti sub suku Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Karo, Batak Simalungun serta Batak Pakpak.
🌾 (Panda MT Siallagan/Sumut Pos)

Kamis, 31 Desember 2020

Adu perkolong kolong Lagu Karo Kirim Surat (Anita Sembiring ras M. A Farans Breka P)

Adu perkolong kolong Lagu Karo Kirim Surat (Anita Sembiring ras M. A Farans Breka P)

KISAH SESUNGGUHNYA TENTANG SISA TONGGAK ( PALAS ) “RUMAH SI PITU RUANG” RAJA BALASORE GINTING MUNTE DI AJINEMBAH

 
*KISAH SESUNGGUHNYA TENTANG SISA* *TONGGAK ( PALAS )*
 *“RUMAH SI PITU RUANG” RAJA BALASORE* *GINTING MUNTE DI AJINEMBAH*
*Oleh : A. Ginting Munte*
*Ajinembah, sebuah desa yang tentram, dipimpin oleh seorang Raja marga Ginting Munte* bernama “Raja Balasore”. Raja mempunyai empat orang anak, tiga putra dan seorang putri. Paras Beru Ginting Munte, Putri Raja sangat cantik dengan badan yang gemulai, sehingga tidak ada yang berani melamarnya untuk dijadikan istri. 

*Pada suatu hari menjelang sore, datanglah seorang pemuda menghadap Raja*, melamar Beru Ginting Munte untuk dijadikan isteri:
“Putriku boleh kau jadikan isteri, tapi ada syaratnya”. Kata Raja Balasore.
“Apa syaratnya Raja, mudah-mudahan bisa saya penuhi”. Jawab pemuda itu dengan hati yang rendah.
“Kau harus bisa membangun rumah besar yang memiliki 7 ruangan (rumah sipitu ruang) dalam waktu satu hari atau satu malam”. Kata Raja dengan tegas.
“Baik Raja, dimanakah kiranya lokasi rumah yang akan saya bangun?”. Tanya pemuda itu untuk memastikan.

*“Di sebelah rumah ini saja, tanah yang tersedia masih luas”. Jawab Raja dengan menunjuk.*
“Apa masih ada yang lain Raja inginkan?” Tanya pemuda itu menawarkan.
“Itu saja dulu, kalau kau tidak bisa membuat dan menyelesaikannya dalam waktu satu hari atau satu malam, maka lehermu akan saya potong”. Sahut Raja mengulangi dengan tegas.
“Baik Raja, malam ini juga akan saya kerjakan, sehingga besok pagi, rumah yang Raja inginkan itu sudah ada. Kalau tidak ada lagi yang Raja inginkan, saya pamit dulu”. Sahut pemuda itu seraya berdiri.
“Baik, kerjakanlah itu”. Balas Raja dengan singkat tanda memerintah.
Setelah pemuda itu keluar dari rumah Raja, hari gelap dan hujan turun dengan sangat lebat, sehingga dalam jarak dekat tidak tampak apapun, hanya gelap gulita. Tetapi Raja masih bisa mendengar suara peralatan bertukang yang sedang membangun rumah.

*Pada subuh hari disaat ayam berkokok, pemuda itu mengetuk pintu rumah Raja Balasore:*
“Siapa itu, pagi-pagi sekali sudah datang!” Bentak Raja, sambil berdiri dari tempat tidurnya dan berjalan menuju pintu rumah.
“Saya Raja, rumah yang Raja minta sudah selesai saya bangun”. Sahut pemuda yang mengetuk dan berdiri di depan pintu.
Setelah pintu dibuka, Raja melihat pemuda yang datang kepadanya kemaren sore untuk melamar putrinya sedang berdiri dan membungkuk hormat:
“Hm… kamu, sudah selesai rumah yang saya minta itu?” Tanya Raja kepada pemuda itu memastikan.
“Sudah saya selesaikan Raja, silahkan lihat dulu, apakah sudah sesuai dengan keinginan Raja”. Sahut pemuda itu untuk meyakinkan Raja.

*Raja Balasore menoleh ke samping rumah dan melihat di atas tanah pekarangannya sudah berdiri* sebuah rumah besar seperti yang dia inginkan. Raja berjalan ke samping rumah seraya melipat tangan ke dada untuk menghangatkan tubuhnya yang kedinginan, diam-diam mengagumi. Pemuda itu mengikuti Raja dari belakang dengan menatap punggung dan tubuh Raja yang tinggi besar. Setelah Raja sampai di depan pintu, pemuda itupun berlari ke depan untuk membukakan pintu yang masih tertutup:
“Silahkan masuk Raja, tolong lihat dan amati, apakah sudah sesuai dengan keinginan Raja”. Kata pemuda itu seraya membungkuk untuk meminta pendapat dari Raja.
Raja Balasore melepas tangan yang terlipat didadanya, dan memasuki rumah besar itu. Dengan diam, Raja mengamati dengan jeli dan menghitung ruangan rumah. Sebanyak tujuh ruangan sudah tersedia, dibangun dengan rapi dari kayu berkualitas:
“Mana teman-temanmu yang membangun rumah ini?” Tanya Raja ingin tau.
“Saya yang membangunnya Raja”. Sahut pemuda dengan membungkuk untuk meyakinkan Raja.
“Kamu sendiri yang membangunnya?” Sahut Raja sambil menoleh pemuda itu dengan heran.
“Ya, saya sendiri Raja”. Sahut pemuda itu dengan singkat dan tetap membungkuk.
“Baik, rumah ini sudah kamu bangun dengan baik dan sudah sesuai dengan yang saya inginkan”. Sahut Raja dengan kagum.
“Kalau begitu, kapan Raja mau memasuki rumah ini?” Tanya pemuda itu, ingin mengetahui rencana Raja. ( *terusken baca kena nake...seh kel perluna sieteh cerita enda... *👪👫👭👇 )
“Dalam dua atau tiga hari ini, karena saya harus mengumpulkan semua keluarga dan rakyatku, serta menyediakan makanan untuk merayakannya”. Sahut Raja menjelaskan rencananya.
“Bila Raja berkenan, biarlah saya saja yang memasak makanan dan minuman yang dibutuhkan untuk merayakan pesta memasuki rumah baru ini”. Kata pemuda itu menawarkan diri.
“Baik, saya setuju. Kumpulkanlah teman-temanmu untuk mengerjakannya”. Sahut Raja mengijinkan.
“Saya sendiri yang akan mengerjakannya Raja. Bila Raja berkenan, dimanakah kiranya lumbung padi yang bisa saya ambil untuk dimasak nasi, serta tempat ternak sapi atau kerbau digembalakan untuk saya ambil dan dipotong untuk lauk?”. Tanya pemuda itu sambil tetap membungkuk hormat untuk memastikan.

“Padi ada di dalam lumbung saya di sebelah rumah, dan Sapi atau Kerbau bisa kamu ambil di padang pengembalaan ternak saya di atas bukit itu”. Sahut Raja sambil menunjuk tempat padi dan Sapi/Kerbau yang dibutuhkan untuk dimasak.
“Baik Raja, undanglah semua keluarga dan rakyat Raja. Dalam dua hari ini, semua kebutuhan dan makanan untuk pesta memasuki rumah itu sudah saya siapkan”. Sahut pemuda itu seraya membungkuk meyakinkan Raja.

Setelah beberapa saat berkeliling mengitari ruangan, mereka berduapun keluar dari rumah yang baru dibangun itu. Raja mendahului keluar untuk kembali ke rumahnya tanpa menoleh, serta pemuda itu belakangan untuk menutup pintu rumah, kemudian pergi melalui jalan desa dan menghilang.
Rumah besar yang diinginkan Raja sudah selesai dibangun, makanan yang diperlukan untuk pesta memasuki rumah baru sudah tersedia, dan pemuda mesterius telah menyanggupi menyiapkan tempat dan makanan pesta memasuki rumah baru, maka Raja Balasore menyebarkan undangan ke seluruh keluarga dan masyarakat, baik di desa maupun diluar desa dalam wilayah kekuasaannya. Raja juga menyuruh seluruh bawahan dan beberapa masyarakat kepercayannya untuk membantu persiapan dan pelaksanaan acara atau pesta BB memasuki rumah baru.

Sesuai undangan, di pagi hari dihari kedua, Raja Balasore beserta seluruh keluarga bangun, berkemas, berpakaian  rapi, dan berangkat ke rumah baru yang akan dimasuki. Sebelum memasuki halaman rumah baru yang akan dimasuki, Raja terkejut dan heran melihat tikar untuk tempat duduk undangan dan makanan untuk pesta memasuki rumah baru sudah tersedia dengan rapi. Sepintas Raja mengagumi, bahwa yang menyiapkan semua itu adalah anak buah dan masyarakat yang sudah ditugaskan membantu pelaksanaan pesta memasuki rumah baru itu. Disaat raja masih berdiri dan kagum melihat persiapan memasuk rumah baru, pemuda misterius itu datang tergopoh menyambut Raja:
“Tampat dan semua kebutuhan pesta sudah saya siapkan, apa masih ada yang kurang?” Tanya pemuda itu kepada Raja dengan kepala merunduk untuk memperoleh persetujuan.
“Apa kamu sendiri yang menyiapkan tempat ini?” Tanya Raja memastikan dengan raut wajah terheran-heran.

“Ya Raja, saya yang menyiapkannya. Semua keperluan makan dan minum serta makanan dan minuman untuk menjamu undangan Raja juga sudah saya siapkan.” Sahut pemuda itu dengan tetap membungkuk menyampaikan laporan yang sudah dia lakukan.
“Dimana makanan yang sudah kamu siapkan itu?” Tanya Raja singkat untuk mengetahui kebenaran makanan yang sudah disiapkan pemuda itu.
“Disana, disebelah Timur Raja.” Sahut pemuda itu seraya berjalan kesisi untuk menuntun Raja ke tempat makanan yang sudah disiapkan.

Dengan melipat tangan ke belakang, Rajapun berjalan mengiktu pemuda yang berjalan disampingnya menuju tempat makanan yang sudah disiapkan pemuda itu. Melihat makanan yang sudah masak dan dimasukkan dalam wadah yang bagus dan rapi, Raja berdecap tanda heran dan kagum:
“Berapa banyak makanan yang sudah kamu siapkan ini?” Tanya Raja ingin mengetahui jumlah tamu yang bisa diberi makan.
“Cukup untuk makanan tamu yang datang hari ini, dan bila kurang akan saya siapkan lagi bagi yang akan datang, sehingga semua tamu Raja bisa makan.” Sahut pemuda itu untuk mengurangi keraguan Raja apabila makanan kurang.

“Baik, siap-siaplah dengan temanmu, sebentar lagi tamu akan datang.” Sahut Raja memuji sambil memerintah untuk siap di tempat, dan berjalan masuk ke rumah baru itu.
Beberapa saat kemudian, undangan dari keluarga, masyarakat Ajinembah, dan masyarakat dari desa lain di wilayah kekuasaan Raja Balasore berdatangan dan menyalami Raja. Setiap tamu yang datang, disuruh Raja harus makan dulu sebelum pulang ke masing-masing desanya.

Pesta memasuki rumah baru itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Ratusan ternak Sapi dan kerbau, termasuk Kerbau Nagga Lutu milik Raja yang badannya besar dan di punggungnya bisa digunakan oleh dua orang untuk bermain catur, sudah habis dipotong. Demikian juga dengan cadangan makanan di lumbung, ribuan kaleng padi sudah habis diolah menjadi beras untuk ditanak nasi.  Untuk membuktikan bahwa bahan untuk makanan sudah habis, maka Raja Balasore didampingi pemuda itu, pergi ke lumbung padi dan padang penggembalaan. Benar, lumbung padi ditemukan sudah kosong tetapi tidak ada terlihat kulit padi bekas tumbukan untuk dijadikan beras, dan Sapi serta kerbau juga sudah habis dipotong. Raja setelah di rumah, termenung memikirkan:
“Maaf Raja, pesta memasuki rumah baru sudah berlangsung tujuh hari tujuh malam, tetapi tamu undangan Raja masih ada yang datang”. Sapa pemuda itu mengejutkan Raja.
“Ya….. sayapun heran dan sudah kewalahan. Untuk menjamu mereka, padi di lumbung serta Sapi dan Kerbau di padang pengembalaan sudah habis, tetapi mereka tetap saja berdatangan.” Sahut Raja Balasore  mengeluh dengan wajah letih.

“Maaf Raja, bila Raja berkenan, saya akan mengatasi mereka supaya tidak datang lagi.” Kata pemuda itu meyakinkan dan menghibur Raja.
“Baik, lakukanlah itu, supaya merekapun tidak datang lagi”. Sahut Raja dengan wajah menyetujui.
Pemuda itupun pamit dari hadapan Raja, seraya berjalan untuk mengambil tepung beras dan air, serta mencampur dan mengaduknnya sehingga menjadi adonan. Setiap tamu yang datang, diberi tanda dengan membubuhkan adukan tepung beras itu di dahi tengah serta pelipis kiri dan kanan. Kemudian, setiap tamu yang sudah diberi tanda, disuruh masuk ke rumah melalui tangga depan dan keluar rumah melalui tangga belakang, lalu pergi meninggalkan rumah. Demikianlah diperbuat pemuda itu kepada setiap tamu yang datang, dan seluruh tamu tidak kembali lagi.
Setelah semua tamu dan undangan pergi dan tidak kembali lagi, tinggallah Raja dengan isteri, ke empat anaknya, dan pemuda itu:
“Maaf Raja, persyaratan untuk meminang putri Raja sudah saya kerjakan sesuai permintaan Raja. Rumah baru dengan tujuh ruang sudah saya bangun, makanan untuk keperluan pesta sudah saya siapkan, pesta memasuki rumah baru juga sudah selesai, dan tamupun sudah pulang semuanya. Sebelum kami pergi dengan putri Raja, apakah masih ada yang saya kerjakan?”. Tanya pemuda itu sebagai tanda berpamitan untuk membawa putri Raja, beru Ginting Munthe.
 “Semua yang saya minta sudah kamu penuhi, berangkatlah bersama putri saya yang kami sayangi, dan jenguklah kami di kampung ini pada saat kami rindu”. Sahut Raja dengan wajah pilu dan suara serak, karena tidak kuat melihat putrinya dibawa pergi.

Berangkatlah putri Raja bersama pemuda itu melalui jalan masuk desa, dan menghilang ditengah jalan. Setelah beberapa lama, Rajapun sangat rindu kepada putrinya beru Ginting Munthe, tetapi Raja tidak tahu kepada siapa harus menyampaikan pesannya. Pemuda itu telah memenuhi segala keinginan Raja, sehingga Raja sangat bersukacita dan lupa menanyakan nama dan alamat pemuda yang sudah membawa putrinya. Pemuda itu, tanpa bantuan dari yang lain, mampu memenuhi permintaan Raja, karena dia adalah Raja Umang dari ras Negroid (negrito).

Sepeninggal putrinya, Raja merasa kesepian, selalu termenung, dan uring-uringan, karena sangat merindukan putrinya. Keberadaan dan pendapat ketiga putranya selalu ditanggapi dengan dingin. Pada suatu saat, amarah Raja memuncak dan mengusir ke tiga putranya keluar dari Kerajaan. Ketiga putra Raja pun sepakat keluar dari Ajinembah: satu ke Tongging, satu ke Dokan, dan satu lagi ke Pengambaten, tetapi urutan persaudaraan dalam sulung dan bungsu yang menempati masing-masing daerah tidak diketahui. Karena kesedihan dan kekecewaan, Raja Balasore berseru dan mengumpat: “untuk keturunannya, janganlah ada lagi beru Ginting Munthe yang cantik”. Hal inilah menyebabkan: setiap marga Ginting Munthe sangat menyayangi dan merindukan anak dan turangnya beru Ginting Munthe; dan tidak ada lagi beru Ginting Munthe yang cantik, tetapi tetap patuh dan sayang kepada Bapak dan turangnya Ginting Munthe.

Dari ketiga daerah inilah kemudian menyebar marga Ginting Munthe ke seluruh wilayah Simalungun menjadi marga Saragih; di Karo tetap marga Ginting Munthe; di Tapanuli Selatan menjadi Dalimunthe; di Tapanuli menjadi marga Saragi, Napitu, Munthe, dan lainnya; serta Dairi dan Aceh (Singkel, Keluwat, Gayo, Alas ) menjadi marga Munthe.

Dari hasil pengamatan ke Desa Ajinembah dan Desa Siosar pada pertengahan tahun 2017, ada tiga hal aneh yang mendukung Hikayat Beru Ginting Munthe, putri Raja Balasore Ajinembah, antara lain:
Sebagian tonggak/dasar tiang rumah Sipitu Ruang kediaman Raja Balasore masih berdiri di Ajinembah, dan sudah dipugar oleh Pemerintah Kabupaten Karo;

Di Desa Siosar yang dahulu masih dalam wilayah kekuasaan Raja Balasore, terdapat satu pohon kayu besar dan tinggi, masyarakat Desa itu menyebutnya Batang Kayu Beru Ginting Munthe. Pohon kayu tersebut pada tahun 2015 pernah dicoba ditebang oleh pekerja yang membersihkan lahan untuk dijadikan pemukiman (resetlement) dan lahan usaha pertanian bagi pengungsi Gunung Sinabung. Sebanyak dua unit gergaji mesin yang digunakan untuk menebang pohon kayu mengalami patah, tetapi pohon kayu samasekali tidak terpotong. Sejak itu, masyarakat disekitar Desa tempat pohon itu berdiri menjadikan pohon kayu tersebut sebagai sesembahan. Di bawah pohon kayu, sering ditemui berbagai jenis barang hiasan perempuan yang dipersembahkan masyarakat yang meyakininya;

Disebelah Selatan Desa Siosar, terdapat Deleng (Bukit) Percinahen yang gersang dan tidak dapat ditumbuhi rerumputan dan kayu-kayuan. Bukit ini dahulunya “ingan Perpanden”, yaitu tempat untuk membuat berbagai jenis peralatan dan perkakas: berperang, berladang, dan mendirikan rumah (termasuk untuk rumah Sipitu Ruang).

Rabu, 30 Desember 2020

10 GENDANG KEYBOARD KARO SALIH PATAM PATAM -MUSIK-SAKTI SEMBIRING

10 GENDANG KEYBOARD KARO SALIH PATAM PATAM -MUSIK-SAKTI SEMBIRING

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India